Selamat Datang di Blog Gerakan Pemuda Ansor Anak Cabang Watulimo Kabupaten Trenggalek, Semoga bermanfaat dan membawa Berkah. Aamiin

Senin, 27 Maret 2017

Ngaji Toleransi di Kaki Bukit Watu Payung

Unknown   at  Senin, Maret 27, 2017  1 comment

Seorang muslim hidup di sebuah komunitas plural – seperti Dusun Kemiri, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung – haruslah memiliki bekal pendidikan agama yang betul-betul matang. Matang dalam arti tidak hanya memiliki pengetahuan teks agama yang luas. Tetapi juga memiliki ketrampilan khusus dalam menerapkan universalitas dan fleksibelitas teks agama tersebut ke ruang publik. Sehingga, syariat sebagai komunikasi horisontal itu bisa terterapkan tanpa menodai iman sebagai komunikasi vertikal individu. 

Dusun Kemiri merupakan sebuah dusun kecil berpenduduk sekitar 900 jiwa. Terdiri dari pemeluk Buddha, Muslim, Kristen Protestan, dan Kristen Jawa. Pemeluk Buddha berjumlah sekitar 400 jiwa, Muslim 300 Jiwa, dan sisanya adalah Kristen Protestan dan Kristen Jawa. Pada akhir tahun 80-an, warga Kemiri masih mutlak memeluk Buddha. Kemudian pada awal tahun 90-an beberapa orang Buddha memeluk Islam dengan berbagai alasan, utamanya karena pernikahan. Sementara warga Kristiani kebanyakan adalah pendatang. Syiar Islam di Kemiri mulai tampak sejak seorang santri bernama Solihin bermukim di sana, setelah menikahi gadis mualaf setempat bernama Sumirah pada tahun 1992. Oleh warga muslim yang saat itu baru beberapa, Solihin dan Sumirah didaulat sebagai pemuka sekaligus guru ngaji desa. Sejak itu aktifitas dan syiar umat muslim mulai tampak. 

Keadaan topografi Dusun Kemiri terdiri dari lereng dan bukit-bukit tak bernama. Pemukiman warga berada pada kemiringan salah satu anakan bukit. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. 79 hektar lahan digunakan sebagai pertanian basah, dan sisanya pertanian kering yang ditanami albasia dan kopi. Tanaman industri seperti ketela juga banyak dibudidaya. Para ibu memanfaatkan hasil ketela yang melimpah dengan mengolahnya menjadi lenteng dan keripik. Dan seperti masyarakat petani pada umumnya, masyarakat Kemiri sangat menjunjung tinggi nilai-nilai gotong-royong dan musyawarah. 

Di atas dusun, terdapat bukit yang menjadi induk dari bukit-bukit kecil di bawahnya. Namanya Gumuk Watu Payung (Bukit Watu Payung). Disebut payung karena di puncak terdapat pertapaan berupa sebuah rongga batu yang memayungi para petapa. Batu-batu raksasa di puncak, di cengkeram oleh akar-akaran pohon beringin besar sehingga tidak menggelinding. Di puncak, dibangun sebuah Vihara. Dan batu rongga itu kini dibangun sebuah kamar untuk bertapa. Gumuk Watu Payung digunakan sembahyang umat Buddha pada hari Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan tanggal 1 Suro. Vihara di Gumuk Payung bukan satu-satunya. Di tengah pemukiman, terdapat dua Vihara lain yang digunakan sebagai persembahyangan harian, yaitu Vihara Avalokitesvara bagi aliran Mahayana, dan Vihara Damma Sosila bagi aliran Theravada. Umat Muslim memiliki satu masjid bernama Miftahul Jannah. Sementara umat Kristiani memiliki Gereja Sidang Jemaat Allah (Filadelfia). Sedang pemeluk Kristen Jawa tempat ibadahnya masih di salah satu rumah penduduk.

Kerukunan umat beragama di Kemiri saat ini, merupakan sebuah akumulasi sejarah yang lumayan panjang. Jika dirunut sejak awal, perpindahan agama sebagian warga Buddha ke Islam, sebetulnya bukan sebuah pemicu perselisihan yang berarti. Kebanyakan, warga Buddha yang diajarkan welas-asih itu, tidak mempersoalkan anak-cucu mereka untuk ikut mengaji. Artinya, warga Buddha di Kemiri itu, banyak yang anak-anaknya ikut mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) asuhan Kiai Solihin, tapi belum memeluk Islam. Oleh Kiai Solihin anak-anak itu tidak lantas disyahadatkan. Bahkan, meski sore hari mereka mengaji, pada saban malamnya mereka juga masih rajin mengikuti orangtuanya kebaktian di Vihara. Kiai Solihin juga tidak pernah mensyaratkan apalagi memaksa anak-anak asuhnya yang beragama Buddha untuk membaca syahadat. Kata Kiai Solihin, “Kan, la ikraha fidîn. Tidak ada paksaan dalam agama. Nabi juga dulu pernah menerima Nasrani Najran yang ingin mengetahui Islam dengan menempatkan mereka di Masjid Nabawi”.  

Anak-anak Buddha yang ikut mengaji itu, yang orangtuanya masih memeluk Buddha, kebanyakan resmi memeluk Islam dengan membaca syahadat ketika sudah masuk sekolah menengah, kuliah, atau ketika sudah bekerja, ada juga yang saat menikah. Malah ada pula yang sudah mengaji dan bisa membaca Al-Quran tapi tidak masuk Islam. 

Dari itu, di Kemiri sangat umum ditemui struktur keluarga yang anggota-anggotanya berbeda agama. Terkadang, orangtua yang beragama Buddha, hidup seatap dengan anak, menantu, dan cucu yang beragama Islam atau Kristen. Seorang kakek beragama Buddha biasa mengantarkan cucunya pergi mengaji di Masjid. Atau seorang anak beragama Buddha mengantar ibunya ke pengajian desa sebelah.

Di Kemiri, Anda juga bisa menemukan keunikan berbusana. Jilbab misalnya. Pakaian yang menjadi simbol bagi muslimah itu, nyaris tidak berlaku di Kemiri. Ibu-ibu yang beragama Buddha dan Kristen, biasa ke pasar atau ke ladang memakai jilbab. Alasannya tentu bukan aurat, tetapi agar tidak kedinginan saat ke pasar subuh-subuh dan jika dipakai di ladang, jilbab terbukti efektif melindungi diri dari gigitan serangga jalang semisal nyamuk. Begitu juga peci dan sarung yang khas bapak-bapak muslim. Di sana, orang Buddha dan Kristen biasa memakai sarung saat malam. Dan memakai peci saat kondangan atau acara resmi lainnya. “Peci itu nasionalis. Semua presiden dan pejabat negara, baik Muslim maupun Non Muslim memakai peci,” kata Kiai Solihin.

Tapi budaya berjilbab itu bukan sesuatu yang begitu saja membudaya. Ada sejarah pahit di baliknya. Dulu, saat Bu Sumirah masih mualaf, kemudian mengaji di Pesantren Ridho Alloh Kaloran, tidak sedikit tetangganya yang mencemooh jilbab dan gamis yang dikenakannya. Bagi mereka, jilbab dan gamis adalah budaya asing. Sampai-sampai, Bu Sumirah dulu ketika berangkat ke pesantren masih memakai celana pendek dan tanpa jilbab. Baru sesampainya di desa Kaloran, Bu Sumirah berganti pakaian sebagaimana lumrahnya santri. Begitu pula saat Bu Sumirah pulang dari pesantren pada setiap Jumatnya, Bu Sumirah harus melepas jilbab dan kembali memakai celana pendeknya sebelum memasuki desanya. Begitu itu ia lakukan sampai ia menikah. Kata Bu Sumirah, “Meski saya dicemooh pakai jilbab. Dan meski membuka aurat itu bagi saja adalah hal yang dilarang dalam Islam. Tapi saya tidak pernah mengajak mereka untuk berjilbab. Apalagi mencemoohnya. Saya selalu ingat pesan guru saya bahwa dakwah dengan sikap itu lebih utama ketimbang memakai lisan,” begitu kenangnya. Dan setelah ketokohan dan sikap toleran pasangan Kiai Solihin dan Bu Sumirah diakui warga, barulah warga – yang non Muslim – turut pula tertarik untuk menggenakannya. 
***
Selain jilbab, perayaan hari-hari besar di Kemiri tidak kalah unik. Kerukunan antar umat beragama sangat tampak dalam acara itu. Ahad tanggal 12 bulan Rabiul Awal 1438 H/ 11 Desember 2016 M misalnya. Saya menyempatkan untuk datang ke acara muludan di Kemiri. Acaranya unik tidak seperti lumrahnya dusun lain. Lepas Isya, sebelum kitab Albarzanji dilantunkan di serambi Masjid Miftahul Janah, para lelaki tua-muda – baik muslim, budhis, maupun kristiani – berkumpul di rumah Bapak Kadus Waliyoto (52). Acaranya ramah tamah dengan jamuan ketan-juroh yang dibawa oleh masing-masing warga. Juroh adalah pemanis cair terbuat dari gula aren yang disiramkan di atas ketan. Ada juga yang membawa kolak pisang dan jenang candil. Acara ini bagian dari seremoni maulid tetapi dilakukan di tempat terpisah. Pak Kadus yang sekaligus tokoh Buddha memberi sambutan dengan menekankan kerukunan antar umat beragama. “Walaupun berbeda keyakinan, kita adalah warga Kemiri yang satu. Dan inilah Bhineka Tunggal Ika”, itu petikan sambutan Pak Kadus. Mbah Jumari (tokoh Muslim) menjadi pengabul malam itu dan Kiai Solihin membaca doa. 

Setelah acara makan ketan-juroh rampung dan warga non muslim pulang, saya dan warga muslim Kemiri langsung menuju Masjid Miftahul Jannah untuk membaca Albarzanji diiringi tabuh rebana, dan digemakan menggunakan toa masjid. Sehingga suara bacaannya terdengar jelas di antero Kemiri. Bahkan angin perbukitan membawanya jauh ke dusun-dusun sekitar. Meski begitu, tidak ada protes atau keberatan dari pemeluk agama lain. Saya kemudian menyimpulkan, mungkin acara ketan-juroh itu semacam permohonan permisi. Begitu.

Siangnya, lepas shalat Zuhur, pengajian dalam rangka Maulud Nabi di gelar di halaman masjid. Yang hadir di situ juga semua warga, baik muslim, budhis, maupun kristiani. Semua wanita berjilbab dan laki-laki mengenakan peci. Saya sama sekali tidak bisa membedakan mana yang muslim dan non muslim. Semua membaur dalam acara tersebut. Tidak ada tempat khusus hadirin muslim maupun non muslim. Bahkan warga non Muslim bisa duduk di serambi masjid. Acara pengajian itu menghadirkan seorang dai dari Temanggung. Kata Kiai Solihin, dalam setiap acara Muludan dan pegajian peringatan lain di Kemiri, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi seorang pengisi acara, dan aturan itu merupakan kesepakatan warga demi terlestarinya kerukunan umat beragama. Di antaranya adalah tidak menggunakan kata-kata ‘kafir’, tidak menyingung penyembahan berhala serta zaman Jahiliyah.

Pernah, dulu tahun 1997 toleransi di Kemiri sedikit ternodai. Bahkan nyaris meletuskan konflik. Pemicunya seorang dai yang diundang mengisi acara tidak mengindahkan aturan itu. Dengan terang lagi lantang, dai itu mengangkat tema yang sangat sensitif seputar pasutri yang berbeda agama dan dengan menggunakan bahasa yang kasar. Padahal, ada sekitar 30-an kepala keluarga di Kemiri yang memiliki pasangan berbeda agama. Biasanya, salah satu dari pasutri tersebut mengikuti agama yang dipeluk anak atau cucunya. Tamsilnya, ada pasangan suami istri pemeluk Buddha yang anak gadisnya memeluk Islam karena pernikahan. Kemudian, ibu dari gadis itu ikut memeluk Islam sedang ayahnya tidak. Nah, setelah acara pengajian itu, suasana dusun Kemiri memanas. Beberapa warga Buddha tidak terima dan hendak meminta pertanggung jawaban Kiai Solihin sebagai panitia pengajian. Suasana semakin keruh ketika para pemuda Buddha juga terbakar suasana. Bahkan ada yang memprofokatori agar Kiai Solihin diculik lalu dibunuh. Mendengar isu itu, Kiai Solihin bersembunyi kemudian lari meminta bantuan warga Muslim dari dusun lain. Malamnya, sekitar empat mobil berpenumpang puluhan warga Muslim dari dusun lain datang hendak mencari pemuda Buddha. Suasana malam itu benar-benar panas. Terdengar teriakan-teriakan profokatif dari rombongan dari desa lain itu. Tapi beruntung, tidak lama beberapa kiai terpandang di wilayah sekitar, juga Kepala Desa, Kepala Dusun, dan Kapolsek turun tangan. Masyarakat yang terlibat didudukkan. Mereka sepakat berdamai setelah semua memaklumi bahwa sebenarnya; umat muslim Kemiri dalam hal ini panitia pengajian bukan bermaksud merusak suasana kerukunan umat beragama. Tetapi kejadian itu murni kesalahan oknum dai yang tidak tahu atau tidak mau tahu kearifan Kemiri yang sama sekali berbeda dengan dusun lain.
***
Di kesempatan lain, Kiai Solihin bertutur panjang lebar kepada saya mengenai suka duka berdakwah di Kemiri. “Harus ada formulasi syariat khusus di Kemiri,” katanya bukan mengeluh. Maklum, masyarakat Kemiri yang kebanyakan mualaf belum bisa menerima Islam dalam bentuk ajaran yang lumrah diajarkan di masyarakat lain. “Di dalam Islam itukan banyak khilafiyah atau perbedaan pendapat. Untuk itu, pemuka agama Islam di Kemiri itu harus kreatif mencari pendapat walaupun hanya pendapat daif dan meski dari mazhab lain,” begitu imbuhnya.

Contoh kasus di Kemiri yang menarik perhatian saya adalah banyaknya anjing. Saya kaget ketika Bu Sumirah mengatakan bahwa anjing-anjing itu bukan saja milik warga non Muslim. Tapi ada sekitar 20-an warga Muslim yang masih memelihara anjing. Memang bagi non muslim, anjing bukanlah binatang yang harus dijauhi. Anjing biasa dijual atau dikonsumsi di acara-acara tertentu seperti hari-hari besar dan pernikahan. Tapi bagi Muslim, anjing tentu saja bisa menganggu kesucian pakaian dan anggota badan yang berakibat tidak sahnya shalat. Akan tetapi, Kiai Solihin dalam hal ini, malah merasa tidak begitu pusing. Katanya, “Masalah najis anjing itukan ada perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi mengatakan yang najis cuma mulut dan air liurnya saja. Jadi kalau menyentuh bagian lain ya tidak najis. Kemudian mazhab Maliki malah mengatakan anjing itu suci. Tidak najis. Meski menurut Maliki jilatan anjing wajib dibasuh tuju kali salah satunya dengan debu. Tapi alasannya bukan najis, namun taabudi (perintah yang tidak ada alasan logis). Sementara, al-ami la mazhaba lahu (orang awam itu tidak punya mazhab khusus), jadi ketika orang awam itu melakukan ibadah dan sudah cocok dengan salah satu pendapat mazhab apapun, maka ibadahnya sah,” begitu paparnya.

Paparan Kiai Solihin di atas, menyadarkan kita bahwa betapa luas hukum dalam Islam itu. Terutama dalam fikih. Pernah Kiai Solihin berkata begini, “Ulama itu tugasnya ngemong (membimbing) bukan mekso (memaksa). Kalau belum bisa berdiri dan berjalan ya harus kita papah, tapi kalau sudah bisa berjalan ya jangan dipapah lagi”. Saya kemudian menyimpulkan bahwa sangat dibutuhkan hati seluas samudera untuk bisa hidup di tengah masyarakat yang pluralistik.   
***
Yang unik lagi dari Kemiri adalah peringatan hari besar, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Waisak, dan Natal. Ada juga perayaan lain yaitu Sadranan tiap Jumat Legi bulan Ruwah (Syaban), Suronan pada tanggal 1 Suro (Muharam), Merti Dusun atau Nyadran Kali setiap Senin Legi Ba’da Mulud (Rabiul Akhir). Di Kemiri, Idul Fitri dirayakan cukup meriah. Tidak hanya warga Muslim, tetapi umat Buddha dan Kristen juga ikut memeriahkan. Sebelum hari H mereka yang non Muslim juga turut meramaikan pasar untuk membeli bahan makanan dan pakaian baru. Dan kebanyakan, pakaian yang dibeli pun pakaian yang biasa dikenakan orang-orang Muslim. Lalu, pada tanggal 1 Syawal, seusai umat Muslim menunaikan shalat I’ed, umat Buddha dan Kristen juga ikut bersilaturahim atau disebut ujung. Sementara pakaian yang mereka kenakan adalah busana Muslim. Yang wanita berjilbab dengan bawahan semata kaki. Yang lelaki mengenakan peci dan baju koko. Mereka saling berkunjung dan bermaaf-maafan.

Perayaan Waisak adalah yang paling meriah. Sepanduk ucapan selamat dibentang di muka desa. Umbul-umbul dan bendera warna-warni berbaris di tepi jalan dan gang. Umat Buddha menggelar perayaan sehari semalam. Biasanya digelar setelah atau sebelum mereka mengikuti acara Waisak di Borobudur. Acara sehari semalam itu adalah pentas kebudayaan seperti Kuda Lumping, Soreng, Tayup, Ketoprak, dan Wayang yang digelar setelah kebaktian di Vihara. Kebaktian dilaksanakan dengan mengikutsertakan tokoh-tokoh Muslim dan Kristiani. Selain pentas seni, Waisak juga menjadi ajang silaturahim layaknya Idul Fitri. Rumah-rumah penduduk baik umat Buddha maupun non Buddha selalu dipenuhi aneka makanan di meja ruang tamu. Para penonton pentas budaya jika lapar atau dahaga, bisa mampir di rumah-rumah kerabat atau teman yang dikenalnya. 

Begitu pula dalam perayaan Natal. Memang Natal di Kemiri tidak semeriah Waisak dan Idul Fitri, tetapi suasana kerukunan juga sangat terasa di sana. Sama dengan acara Waisak, umat Kristiani juga menggundang tokoh umat lain dalam perayaan Natal di gereja. 

Ketika saya tanyakan kepada Kiai Solihin perihal umat muslim mengikuti kebaktian di Vihara dan Gereja, begini jawaban Kiai Solihin, “Umat Muslim itu harus kuat di dalam tapi lentur di luar. Artinya, iman di dalam hati harus teguh. Tetapi dalam bersikap tidak boleh kaku. Kami menghadiri Waisak dan Natal semata menghormati mereka sebagai tetangga. Bukan dalam rangka kami ikut peribadatan mereka. Di hati, kami tetap meyakini bahwa Islam adalah yang benar. Tapi itu haram jika kami utarakan secara verbal. Itu demi ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Bukankah Allah itu memaafkan orang-orang Muslim yang terdesak berkata kufur: “Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa)”

Saya kemudian ingat, Surah Al-Kafirun yang memiliki ayat-ayat dengan pesan tandas tanpa bahasa keras. Surah Al-Kafirun memiliki aliterasi indah. Pengulangan bunyi ‘nun’ dan ‘dal’ yang dominan melahirkan kesedapan bunyi yang melenakan. Sementara pada saat surat itu turun, bangsa Arab bergitu besar memberikan apresiasi pada sastra. Mereka juga memiliki daya peka tajam akan keindahan syair, memiliki cita rasa tinggi akan kefasihan, serta memiliki intuisi menangkap rima, ritma, serta isi. Maka tidak sulit bagi kita untuk menggambarkan reaksi orang Qurays saat diperdengarkan surah itu. Yaitu hati yang luruh atau setidaknya surat itu mampu menunda mereka untuk melampiaskan murka. Itulah Islam, tegas dalam isi, toleran dan santun dalam berkomunikasi.

Selain begitu, surat itu diawali dengan kata amr (perintah) “katakanlah!”. Dibalik peletakkan kata itu, tersembunyi maksud toleransi. Sebab kalimah setelahnya adalah kalimah yang akan terdengar pedas “wahai orang-orang kafir.” Kata ‘kafir’ sangat rentan dianggap maki. Maka didahulukanlah kalimah “katakanlah!” karena dengan begitu, orang Qurays akan tahu bahwa yang mensifati mereka ‘kafir’ bukanlah Muhammad, tetapi Allah, dan dalam hal ini Muhammad hanyalah penyampai.
***
Toleransi juga sangat nampak dalam acara Suronan yang digelar saban tanggal 1 Suro atau tahun baru penanggalan Jawa. Sekalipun acara ini pada dasarnya budaya Jawa, bukan budaya agama tertentu, tetapi acara suronan di Kemiri di pusatkan di Vihara puncak Gumuk Payung. Umat Buddha sekecamatan Kaloran akan diundang karena acara intinya adalah prosesi pemandian patung Buddha. Umat Muslim dan Kristiani Kemiri juga diundang. Malah, tidak hanya diundang, tetapi mereka juga turut membayar iuran, seratus ribu bagi yang mampu dan seikhlasnya bagi yang tidak mampu.

Acara yang berkaitan dengan kematian dan sadranan, juga bisa menjadi sarana toleransi di tengah kemajemukan, seperti yang telah tertradisikan di Kemiri. Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, warga Kemiri juga menggunakan hitungan tujuh hari, empatpuluh, seratus, seribu, dan setahun, untuk acara kirim arwah. “Tujuh hari, empatpuluh dan seterusnya itu bukan ajaran Buddha, tetapi Jawa, untuk menghormati leluhur,” kata Pak Waliyoto. Di acara kirim arwah, biasanya sahibulhajat membuat ambengan atau nasi yang dibuat tumpeng dengan lauk ingkung atau ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong serta sayuran dan sambal. Jumlah undangan tergantung kemampuan tuan rumah, bisa hanya se-RT bisa juga sedusun. Biasanya acara itu digelar seusai umat Muslim menunaikan ibadah shalat Isya. Adapun ritual doa, dilakukan menurut keyakinan almarhum. Para tamu hanya mengamini. Jika yang berdoa orang Buddha, maka para tamu mengamini dengan sikap sembah; telapak tangan dikatupkan didepan dagu atau dada. Jika yang berdoa orang Kristen, para tamu mengamini dengan mengatupkan telapak tangan dan melipat jari-jarinya. Jika yang berdoa muslim, maka para tamu mengamini dengan menengadahkan tangan. Jika kebetulan keyakinan sahibulhajat dan almarhum berbeda, semisal anaknya Buddha dan arwah bapaknya Muslim, maka biasanya anak tersebut meminta bantuan Kiai Solihin untuk mendoakan arwah tersebut. Begitu pula sebaliknya. Pemimpin doa disesuaikan dengan keyakinan arwah yang dikirimi doa, bukan keyakinan sahibulhajat.

Sementara sadranan Jumat Pon bulan Ruwah, biasanya dipusatkan di pemakaman desa. Kamis Paing sore warga desa biasanya kerja bakti besreh atau bersih-bersih rumput makam lalu dilanjutkan dengan nyekar atau menabur bunga di pusara leluhur. Paginya warga ke pemakaman lagi dengan membawa makanan. Sebelum nyadran dimulai, mereka berdoa terlebih dahulu di makam leluhur masing-masing. Orang Buddha berdoa dengan membakar dupa dan hio. Orang Kristen sebagian juga begitu, tapi sebagian lain hanya berdoa dengan tunduk. Sementara orang Muslim membaca Yasin dan tahlil atau salah satunya. Usai itu, mereka menggelar makan bersama di sepanjang jalan menuju kuburan. Daun pisang ditata rapi memanjang lalu nasi dan segenap lauk ditumpah di situ. Suasana sangat tampak raharja, sentosa, dan sangat Bhineka Tunggal Ika.
***
Islam yang diamalkan dan didakwahkan Kiai Solihin di Kemiri sebetulnya bukan hal yang baru. Kira-kira, begitu pulalah metode dakwah para wali dan ulama pada awal masuknya Islam dulu. Manhaj dakwah Islam adalah persuasif dengan mencari titik kompromi antara agama dengan tradisi dan budaya, senada dengan misi risalah yang kafah. 

Apa yang dilakukan Kiai Solihin dan warga Kemiri bukanlah mencampur adukan agama. Tetapi semata kondisi sosial kemasyarakatan yang menuntut demikian. Namun justru dengan begitu, Kiai Solihin dan Muslim Kemiri telah benar-benar membuktikan universalitas dan fleksibelitas syariat. Pula membuktikan bahwa Islam tidak menentang semangat ke-bhineka-an, bahwa Islam mengajarkan pentingnya ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan sebangsa, dan yang terpenting adalah bahwa keberhasilannya berdakwah di Kemiri itu membuktikan bahwa sikap toleran adalah sebaik-baiknya manhaj dakwah di tengah kemajemukan.

Penulis adalah santri PP. Ridho Alloh, Temanggung.  
Tulisan ini menjadi juara pertama kompetesi Esai NU Online-INFID


Sumber : NU Online

Tags:
About the Author

Write admin description here..

1 komentar:

  1. Hard Rock Hotel & Casino, Tunica, MS | MapYRO
    Get directions, reviews 동두천 출장샵 and information 시흥 출장샵 for 충청남도 출장안마 Hard Rock Hotel & Casino, Tunica in Robinsonville, MS. Hard 익산 출장안마 Rock Casino Hotel 광명 출장샵 Tunica Map. Hard Rock Hotel & Casino.

    BalasHapus

::: Simak berbagai info ANSOR Watulimo Online melalui media sosial Group Facebook Ansor Watulimo Klik DISINI ::: Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email ansorwatulimo@gmail.com :::: Info pemasangan iklan, hubungi WA : 0813-3392-6979 :::

startMiner - free and simple next generation Bitcoin mining software

COPYRIGHT © 2016 ANSOR WATULIMO. By Myanto Mahardika Supported By ANSORUNAPublished..Blogger Templates
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.